• Breaking News

    Jumat, 08 Desember 2017

    Yerussalem Bukan Milik Israel

    Hadi Santoso, ST, M.Si, Wakil Ketua Komisi D DRPD Provinsi Jawa Tengah
    Yerusalem adalah kota suci bagi tiga agama samawi. Tidak ada kota di dunia ini yang mewakili keberagaman seperti halnya Yerusalem.
    Kota peradaban ini telah tumbuh menjadi simbol berdampinganya tiga agama besar di dunia, Islam, Kristen dan Yahudi.
    Oleh umat Islam, Yerusalem dikenal dengan nama Al Quds, salah satu kota suci yang disunnahkan diziarahi selain Makkah Al Mukaramah dan Madinah Al Munawwarah.
    Di dalam Al Quds terdapat kiblat pertama umat Islam, Masjid Al Aqsa. Di masjid inilah juga peristiwa sakral Isra Nabi Muhammad SAW berakhir setelah perjalanan dari Makkah lantas menjadi tempat awal Mi’raj Nabi Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha.
    Sementara bagi umat Kristen, Yerusalem adalah kota suci tempat Gereja Makam Kudus. Situs suci umat Kristiani ini adalah tempat perjalanan, kematian, penyaliban dan kebangkitan Yesus.
    Pengelolaan Gereja Makam Kudus di Yerusalem juga dilakukan oleh beberapa kelompok Kristen di dunia. Hal ini menunjukkan betapa penting dan sucinya tempat ini bagi umat Kristiani.
    Sementara bagi umat Yahudi, Yerusalem adalah tempat tembok ratapan berada. Kaum Yahudi percaya, di dalam tembok ratapan terdapat batu sebagai pondasi awal penciptaan bumi dan seisinya. Mereka juga percaya di tempat itu Ibrahim bersiap mengorbankan anaknya Ismail.
    Secara umum, Yerusalem menjadi bukti berdampingannya tiga agama di dunia. Tetapi secara bersamaan, letak tiga tempat suci di dalam satu kota juga menimbulkan dampak politik yang berkepanjangan. Wilayah yang saat ini diokupansi oleh Israel ini menimbulkan prahara yang yang kunjung usai hingga kini. Prahara itu mengerucut dengan nama konflik Israel-Palestina.
    Konflik Israel-Palestina sejatinya tak bisa hanya dilihat sebagai konflik dua wilayah. Keberadaan situs suci agama di Yerusalem yang dikendalikan oleh Israel kerap membawa ranah konflik ini menjadi konflik Israel- Umat Islam dunia.
    Kebijakan represif Israel terhadap Masjid Al Aqsa bukan hanya memicu kemarahan umat Islam yang menjadi mayoritas penduduk Palestina, tetapi juga kemarahan umat Islam di dunia, termasuk Indonesia.
    Kini krisis yang melibatkan dua negara yang tak kunjung usai ini kembali memanas seiring pemindahan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Langkah mundur dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina ini justru dipertajam dengan dukungan resmi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap pemindahan ibu kota Israel ke Yerusalem.
    Dengan pongahnya, Trump mengatakan para presiden pendahulunya adalah kumpulan para penakut. Sebab menurut Trump, ialah yang berani menerapkan Undang Undang Kedutaan Yerusalem yang disahkan Kongres AS sejak 1995. Konstitusi AS itu memerintahkan pemindahan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem sebagai bentuk dukungan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
    Langkah ini tentu saja langkah yang sangat mundur sekaligus kontraproduktif terhadap upaya perdamaian Israel-Palestina. Solusi paling moderat dari krisis ini yakni Two State Solution (Solusi Dua Negara) juga akan menghadapi ancaman serius dengan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
    Israel dan negara kompatriotnya AS bukan sedang menabur perdamaian tetapi justru memantik gendang konflik baru yang makin meruncing. Provokasi-provokasi AS sejak dipimpin Trump menunjukkan jika perdamaian dunia sesungguhnya sedang terancam di bawah kendali AS.
    Kita patut khawatir, saat Israel dengan ibu kota Tel Aviv tidak mampu menciptakan stabilitas di Yerusalem akan semakin represif membabi buta kala pemindahan ibu kota ke Yerusalem mendapat dukungan dari berbagai pihak.
    Bagi umat Islam khususnya, tentu ada kekecewaan besar jika langkah Israel ini terus dibiarkan. Selain masa depan kemerdekaan Palestina yang semakin kabur, kekhawatiran terbesar adalah dirusaknya situs Masjidil Al Aqsa oleh kekejian dan kekerasan yang selama ini ditunjukkan dengan pongah oleh Israel. Melukai Al Aqsa sama saja dengan melukai umat Islam dunia, termasuk kita yang ada di Indonesia.
    Negara-negara dunia keras bereaksi. Sayangnya di negara kita yang menjunjung tinggi asas menciptakan perdamaian dunia ini baru statemen normatif dari Menteri Luar Negeri Retno B Marsudi soal permasalahan krusial ini.
    Presiden Joko Widodo yang menjadikan isu kemerdekaan Palestina sebagai janji politik mesti bersikap tegas sekaligus taktis.
    Sebagai pemimpin yang disebut salah satu dari 50 Pemimpin Muslim Terbaik mesti menggunakan kekuatan lobi international untuk menggalang kekuatan menolak pemindahan ibu kota Israel ke Yerusalem.
    Misi Indonesia yang akan memperjuangkan diri sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB harus dibuktikan dengan melakukan lobi ke Donald Trump sekaligus para anggota PBB untuk bersikap tegas terhadap langkah Israel yang telah melanggar resolusi PBB tersebut.
    Indonesia yang masuk sebagai negara berpengaruh di Organisasi Kerjasama Islam (OKI) juga wajib menggunakan wadah ini untuk membentuk kelompok penekan terhadap kebijakan Israel yang melanggar hukum internasional tersebut.
    Langkah-langkah taktis ini mesti segera dieksekusi. Sebab, jika berlarut bisa jadi akan ada gerakan yang mengarah kepada konflik horizontal yang selama ini kerap terjadi di Yerusalem. Jangan sampai konflik ini meledak kemudian melebar menjadi konflik kawasan yang tentu akan sangat merugikan tatanan dunia.
    sumber: hadisantoso.com

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar